Halaman

Selasa, 16 Agustus 2011

Faktor Biopsikososiokultural

1.      Faktor Biologi
Penelitian pada orang kembar dan keluarga menunjukkan kemungkinan diathesis genetik pada PTSD. Terlebih lagi, trauma dapat mengaktivasi sistem noradrenergik, meningkatkan level norepineflin sehingga membuat orang yang bersangkutan lebih mudah terkejut dan lebih cepat mengekspresikan emosi dibandingkan kondisi normal. Konsisten dengan pandangan ini adalah penemuan bahwa level norepineflin lebih tinggi pada penderita PTSD dibanding pada kelompok kontrol. Selain itu, menstimulasi sistem noradrenergik menyebabkan serangan panik pada 70 %  dan kilas balik pada 40 % penderita PTSD; tidak ada satupun dari peserta kelompok kontrol yang mengalami hal semacam itu. Terakhir, terdapat bukti mengenai meningkatnya sensitivitas reseptor-reseptor noradrenergik pada penderita PTSD.
2.      Faktor Psikologis
Para teoris belajar berasumsi bahwa PTSD terjadi karena pengkondisian klasik terhadap rasa takut. Seorang wanita yang pernah diperkosa, contohnya dapat merasa takut untuk berjalan di lingkungan tertentu (CS) karena diperkosa disana (UCS). Berdasarkan rasa takut yang dikondisikan secara klasik tersebut terjadi penghindaran, yang secara negatif dikuatkan oleh berkurangnya rasa takut yang dihasilkan oleh ketidakberadaan dalam CS. PTSD merupakan contoh utama dalam teori dua faktor mengenai avoidance learning yang diajukan bertahun-tahun oleh Mowrer. Terdapat sekumpulan bukti yang mendukung pandangan ini dan berkaitan dengan teori-teori kognitif behavioral yang menekankan hilangnya kendali dan prediktabilitas yang dirasakan orang-orang yang menderita PTSD.
Suatu teori psikodinamika yang diajukan oleh Horowitz menyatakan bahwa ingatan tentang kejadian traumatik muncul secara konstan dalam pikiran seseorang dan sangat menyakitkan sehingga secara sadar mereka mensupresinya (melalui distraksi, contohnya) atau merepresinya. Orang yang bersangkutan diyakini mengalami semacam perjuangan internal untuk mengintegrasikan trauma ke dalam keyakinannya tentang dirinya dan dunia agar dapat menerimanya secara masuk akal.
3.      Faktor Sosial
Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah anak mengalami kejadian traumatik.
4.      Faktor Kultural
Sedikit data tentang perbedaan suku, tetapi menunjukkan bahwa di antara mereka yang di rujuk ke klinik, anak afrika amerika lebih mungkin mempunyai riwayat PTSD bila dibanding dengan amerika-eropa.
5.      Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko seseorang mengalami gangguan stres pasca trauma, antara lain :
  • Seberapa berat dan dekatnya trauma yang dialaminya. Semakin berat trauma yang dialami dan semakin dekat ia berada saat kejadian semakin meningkatkan risiko PTSD.
  •  Durasi trauma yang dialamiya. Semakin lama/kronik seseorang mengalami kejadian trauma semakin berisiko berkembang menjadi PTSD ( misalnya: kekerasan pada anak di rumah).
  • Banyaknya trauma yang dialami. Trauma yang multipel lebih berisiko menjadi PTSD. 
  • Pelaku kejadian trauma. Semakin dekat hubungan antara pelaku dan korban (misalnya: kekerasan anak yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri) semakin berisiko menjadi PTSD. 
  •  Kejadian trauma yang sangat interpersonal seperti, perkosaan. 
  •  Jenis kelamin: anak dan remaja perempuan lebih berisiko dibandingkan laki-laki. 
  •  Kondisi sosialekonomi yang rendah (kaum minoritas) berisiko lebih tinggi akibat dari tingginya angka kekerasan di daerah tempat ia tinggal. 
  •  Usia : PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak dan usia tua (>60 tahun) merupakan kelompok usia yang lebih rentan mengalami PTSD. Anak-anak memiliki kebutuhan dan kerentanan khusus jika dibandingkan dengan orang dewasa, teruama karena masih ketergantungan dengan orang lain, kemampuan fisik dan intelektual yang sedang berkembang, serta kurangnya pengalaman hidup dalam memecahkan berbagai persoalan sehingga dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. 
  • Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya seperti: depresi, fobia sosial, gangguan kecemasan. 
  • Memiliki penyakit organik yang berat dan kronis seperti, kanker 
  • Pasien yang berada di bawah pengaruh anestesi akan tetapi memperoleh kembali kesadarannya saat dilakukannya operasi. 
  • Seseorang yang tidak berpengalaman dan tidak memperoleh pelatihan dalam menghadapi bencana lebih berisiko dibandingkan mereka yang mendapatkannya (seperti: polisi, petugas pemadam kebakaran, petugas paramedik 
  • Hidup di tempat pengungsian ( misalnya: sedang ada peperangan atau konflik di daerahnya). 
  • Kurangnya dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan.
  •  
Perspektif
Terdapat beberapa sudut pandang aliran psikologi yang memandang kasus PTSD ini, perspektif yang memandang ganguan tersebut antara lain :
1.      Perspektif  Psikoanalisis
Dalam perspektif ini memandang bahwa PTSD disebabkan pengalaman masa lalu yang tanpa disadari individu telah membuat individu menjadi trauma dan cemas berlebihan. Dengan kata lain, ada konflik – konflik tak sadar yang tetap tinggal tersembunyi dan merembes ke alam ketidaksadaran.
2.      Perspektif Kognitif
Perspektif  kognitif berasumsi bahwa adanya cara berpikir yang terdistorsi dan disfungsional, bisa meliputi beberapa hal seperti prediksi berlebihan terhadap rasa takut, keyakinan yang self – defeating atau irasional, sensitivitas berlebihan terhadap ancaman, sensitivitas kecemasan, salah mengatribusikan sinyal – sinyal tubuh, serta self – efficacy yang rendah.
3.      Perspektif berdasarkan pendekatan behavioral
Etiologi terjadinya PTSD dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan behavioral dengan kerangka pikir conditioning. Dalam perspektif behavioral melalui teori classical conditioning, pengalaman traumatis berfungsi sebagai stimulus tak terkondisi yang dipasangkan dengan stimulus netral seperti sesuatu yang dilihat, suara, dan bau yang diasosiasikan dengan gambaran trauma. Pemaparan terhadap stimuli yang sama atau hampir sama memunculkan kecemasan yang diasosiasikan dengan PTSD.
4.      Perspektif Islami
Dalam perspektif Islami,
Terjemahan Q.S. Hud ayat 9-11
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku"; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga, kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.”
Terjemahan Q.S. Al Baqarah ayat 155-156
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".”
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar